Pendidikan dan Realita




Memperingati hari pendidikan nasional, rasanya kurang afdol jika belum menuliskan segores opini. Mengingat bahwa pendidikan ini menjadi kebutuhan yang penting untuk jaman yang modern ini. Meminjam definisi pendidikan dari Paulo Freire, bahwa hakekat pendidikan merupakan proses pembebasan dari pembodohan, dimana kita belajar untuk bisa melihat dan memahami realita sosial, baik realita pada diri sendiri maupun yang terjadi di sekitar kita.
Lebih lanjut lagi, Freire memiliki keyakinan pada sebuah keadaan seandainya setiap manusia, betapapun bodohnya dan tenggelam dalam kebudayaan bisu (tanpa aksara), manusia akan tetap dapat memandang kritis dan melihat realita yang terjadi.
Berangkat dari pandangan Freire tentang pendidikan—serta kesadaran melihat realita, marilah kita lihat sejarah pendidikan di Indonesia. Ada sekolah pribumi bernama Taman Siswa, yang digagas oleh Ki Hadjar Dewantara pada sekitar tahun 1922 merupakan gagasan dari Ki Hadjar yang melihat realita sosial saat itu (jaman kolonial Belanda), karena hanya golongan tertentu yang dapat menempuh pendidikan. Taman Siswa ini didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara dengan harapan agar masyarakat pribumi mendapatkan hak dan kesempatan pendidikan yang sama dengan priyayi atau golongan Belanda.
Menurut saya, secara garis besar Freire dan Ki Hadjar Dewantara memiliki pandangan yang sama dalam pendidikan, sederhananya—manusia akan terbebas dari kebodohan dan mendapat kemerdekaan atas berpikir dan mengambil keputusan ketika bisa melihat realita sosial yang kemudian diperjuangkannya tersebut.
Kemudian mari kita lihat realita pendidikan saat ini. Gaya mengajar ala pendidikan saat ini, meminjam istilah dari Freire—seperti gaya bank. Dimana guru “mengisi” murid dengan menabungkan informasi yang dia (guru) anggap sebagai pengetahuan yang sebenarnya. Gaya pendidikan yang demikian ini bukan mencerminkan manusia agar nantinya memiliki sebuah kesadaran, karena murid menjadi sekedar “menerima” informasi. Pendidikan “gaya bank” tidak menghendaki  para peserta didik untuk melihat realita sosial secara kritis.
Pendidikan itu seharusnya seperti kata Descartes, “cogito ergo sum” (aku berpikir maka aku ada). Pendidikan yang mendidik siswanya untuk berani berfikir kritis, tidak hanya ‘membebek’ dan menjadi individu yang progresif dengan cara melihat realita sosial yang ada. Jika manusia adalah pejuang dan meyakini bahwa fitrah ontologisnya adalah humanisasi, maka cepat atau lambat mereka akan menyadari pendidikan gaya bank bagi mereka, dan kemudian melibatkan diri ke dalam perjuangan bagi pembebasan diri mereka.


Selamat Hari Pendidikan Nasional! Dan jadilah manusia yang “melek” realita, kawan!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konformitas ala Squidward

Hegemoni dan Pendidikan

Buruh Perempuan dan Tuntutannya