Hegemoni dan Pendidikan

Ilustrasi Penindasan.sumber
Penindasan memiliki berbagai macam jenis, hingga dalam bentuk ide.  Salah satu adanya penindasan dalam bentuk ide dapat ditelusuri melalui pendidikan. Pendidikan yang menindas akan menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang diperjual belikan dan yang tidak kalah memprihatinkan adalah orang-orang yang (keblinger) menikmati dunia pendidikan (formal) secara tidak sadar menjadi kelas penindas baru. Pendidikan semacam ini merupakan salah satu konsekuensi dari kaburnya hakikat pendidikan atas eksistensi manusia. Atas permasalahan tersebut, akan diulas secara singkat oleh penulis melalui sudut pandang Gramscian, bagaimana pendidikan ini menjadi sebuah alat dari kelas penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya terhadap penindas.

Pembicaraan kita mulai dengan posisi (netralitas) pendidikan. Sebenarnya tidak ada yang benar-benar objektif di kehidupan ini, termasuk pendidikan yang sejatinya dapat dikatakan tidak netral. Dalam perspektif Gramsci, pendidikan merupakan lembaga yang melancarkan hegemoni kelas penguasa terhadap kelas tertindas. Agar kelas tertindas tersebut dapat mematuhi kelas penguasa, maka mereka (kelas tertindas) pun harus memberi persetujuan terhadap mereka sendiri. Peristiwa  penindasan dan dominasi yang disetujui oleh kelas tertindas inilah yang disebut Gramsci sebagai “hegemoni”, atau menguasai dengan “kepemimpinan moral dan intelektual”.



Proses terjadinya hegemoni melibatkan berbagai macam penetrasi dan sosialisasi nilai, keyakinan, ide, sikap dan moralitas. Jika kemudian pandangan ini (nilai, keyakinan, ide, sikap dan moralitas) diinternalisasikan dalam masyarakat, maka hal itu berubah menjadi pandangan umum (common sense) dan pada akhirnya memiliki kapasitas untuk menghilangkan potensi kritis masyarakat (kelas tertindas) yang didominasi.



Pada abad 15, dominasi otoritas gerja terhadap kehidupan masyarakat begitu kuat. Termasuk dalam bidang pendidikan dan satu dalil gereja pada saat itu yang terkenal adalah geosentris (bumi adalah pusat dari tatasurya). Akan tetapi terdapat seorang cendikiawan bernama Nicolaus Copernicus, menyatakan pertentangannya terhadap dalil gereja tersebut dan membuat konsep Heliosentris (matahari adalah pusat tata surya yang dikelilingi oleh bumi) yang kemudian ia dijatuhi hukuman mati oleh otoritas gereja atas konsepnya tersebut. Pada era tersebut, konsep yang dibawa oleh Copernicus bertentangan dengan dalil-dalil gereja dan dianggap sebuah “kesesatan”.



Peristiwa terbunuhnya Copernicus menjadi salah satu bukti bahwa pendidikan tidak dapat netral. Pendidikan menjadi alat kelas penguasa (saat itu adalah otoritas geraja) mampu menindas kebebasan berpikir seorang cendikiawan. Pada akhirnya, konsep heliosentris tersebut baru diakui oleh dunia pendidikan (pengetahuan) beberapa abad setelah kematian Copernicus.



Kesimpulan yang dapat ditarik dari tulisan singkat ini adalah cara merespon manusia terhadap dunia pendidikan. Sebab pendidikan merupakan salah satu alat kelas penguasa untuk menindas, melalui cara-cara internalisasi nilai-nilai yang kemudian berujung pada pandangan umum atas masyarakat (kelas tertindas). Sehingga perlu disikapi secara kritis, jeli dan penuh kewaspadaan terhadap kebijakan pendidikan yang selalu diwacanakan seakan adalah sebuah hal yang objektif.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konformitas ala Squidward

Buruh Perempuan dan Tuntutannya